Surabaya | JATIMONLINE.NET,- Kejahatan phishing dan pencucian uang tidak mengenal batas geografis. Bahkan, pelaku bisa melakukan aksi jahatnya meskipun terpisah ribuan kilometer dari target. Kasus ini kembali membuktikan bahwa teknologi modern telah menjadi alat bagi para penjahat untuk melancarkan rencana ilegal mereka.

Salah satu contoh nyata adalah kasus yang melibatkan Sahril Sidik, Abdul Rahim, Oskar, dan Meilisa. Keempat individu ini didakwa atas tindak pidana pencucian uang melalui Bank Jatim. Meskipun mereka bukan penduduk Surabaya, keempat terdakwa ini berhasil menarik perhatian publik karena skala operasi mereka yang mencapai Rp 119 miliar.

Oskar dan Meilisa, dua di antara terdakwa, pertama kali ditangkap oleh pihak berwenang di Perumahan The Home Southlink, Kelurahan Tiban Indah, Kecamatan Sekupang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Penangkapan tersebut dilakukan setelah penyelidikan mendalam yang menunjukkan hubungan mereka dengan transaksi mencurigakan di Bank Jatim.

Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Lujeng Andayani, keempat terdakwa dijerat dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Proses pencucian uang ini dimulai ketika Sahril Sidik membuat rekening bank palsu dan menjualnya kepada orang lain dengan harga Rp 500.000 per rekening. Ia kemudian menjual beberapa rekening, termasuk rekening bank swasta atas nama Ridduwan dan dirinya sendiri, kepada Abdul Rahim alias Apong.

Abdul Rahim lalu menjual rekening-rekening tersebut kepada Oskar dengan harga yang lebih tinggi, yakni Rp 5.000.000. Setelah itu, Oskar dan Meilisa menggunakan rekening-rekening palsu tersebut untuk melakukan transaksi atas perintah Deni, seorang tersangka yang masih dalam daftar DPO (Dicari Polisi). Transaksi-transaksi ini dilakukan dengan cara membelanjakan aset kripto, yang disamarkan sebagai pembelian barang atau layanan.

Menurut JPU Lujeng, pada Rabu (11/6/2025), terdakwa Oskar dan Meilisa diperiksa di PN Surabaya. Mereka diadili atas dugaan penggunaan rekening palsu untuk menyembunyikan jejak uang hasil kejahatan. Selain itu, transaksi anomali juga terdeteksi di beberapa rekening lain, seperti Raja Niaga Komputer (Rp 35,4 miliar), Evo Jaya Intan (Rp 29,7 miliar), dan Pasifik Jaya Angkasa (Rp 22,4 miliar).

Skandal ini mulai terungkap pada 22 Juni 2024, saat Bank Jatim melaporkan adanya 483 transaksi anomali dengan total nilai mencapai Rp 119 miliar. Uang tersebut dikirim ke berbagai rekening penerima, termasuk beberapa perusahaan dan individu yang terdaftar di sistem bank. Para pelaku menggunakan aset kripto sebagai sarana penyamaran, dengan minimal 22 nama digunakan sebagai pemilik akun crypto.

Ahmad Sopian, seorang ojek online asal Surabaya, juga terlibat dalam kasus ini. Rekeningnya digunakan sebagai tempat penampungan uang hasil kejahatan. Ahmad Sopian sebelumnya telah divonis hukuman penjara selama 2 tahun atas perannya dalam skema pencucian uang ini.

Di persidangan yang berlangsung pada Rabu (11/6/2025), Majelis Hakim menyebut bahwa ada elemen penting yang belum terungkap: identitas lengkap Deni, bos dari keempat sekawan ini. Deni diyakini sebagai otak di balik operasi pencucian uang yang melibatkan ribuan transaksi ilegal di Bank Jatim.

Kasus ini menjadi peringatan serius tentang bahaya pencucian uang dan bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan oleh para penjahat untuk menyembunyikan jejak kejahatan mereka. Pihak berwenang terus berupaya untuk mengungkap jaringan yang lebih luas di balik skandal ini, sambil memastikan semua pelaku mendapatkan hukuman yang sesuai. (min).