Foto Penyerahan Bantuan Sosial Tunai di Desa Keboan Anom, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoarjo

Oleh : Najma Fadila

Sejak ditetapkannya status pandemi terhadap wabah virus Covid-19 oleh WHO pada tanggal 12 Maret 2020, berbagai negara terus mengupayakan penanganan virus Covid-19 ini, termasuk Indonesia. Status wabah corona di Indonesia ditetapkan sebagai bencana nasional dua hari  setelah  pandemi  global  ditetapkan.  Menurut  Undang-Undang nomor 24  tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, menyatakan ada 3 jenis bencana yakni bencana alam, non alam serta sosial. Wabah atau pandemi virus Covid-19 yang terjadi saat ini merupakan bencana non alam.

Selama 3 bulan lebih, negara Indonesia berjuang melawan virus Covid-19. Pemerintah Indonesia terus mengupayakan agar masyarakat dapat hidup di saat pandemi berlangsung. Berbagai upaya terus dilakukan untuk menekan penyebaran virus Covid-19 ini. Namun nyatanya pertambahan angka pasien covid-19 terus saja meningkat. Per tanggal 22 Juni jumlah orang yang dinyatakan positif covid-19 di Indonesia mencapai 46.845 kasus. Dengan yang dinyatakan sembuh sebanyak 18.735 orang dan yang meninggal dunia sebanyak 2.500 orang, sisanya masih menjalani perawatan di Rumah Sakit rujukan covid-19. Sedangkan jumlah pasien dalam pemantauan (PDP) tercatat 12.999 kasus serta orang dalam pemantauan 43.500 kasus.

Dapat kita bayangkan dari sekian data jumlah kasus covid-19 di Indonesia, sudah berapa banyak masyarakat yang terkena dampaknya. Seperti yang berhembus kabar di Jawa Timur, pada awal bulan Mei lalu tercatat 77 pegawai sebuah pabrik rokok besar di Surabaya positif covid-19. Dari kejadian tersebut, akhirnya manajemen menutup sementara kegiatan pabrik dengan meliburkan karyawannya. Dengan harapan agar penyebaran virus dapat diminimalisir dengan isolasi mandiri. Namun, hal ini juga memberikan dampak khususnya perekonomian. Beberapa dari mereka ada yang menjadi tulang punggung keluarga. Ketika di liburkan, pastinya pendapatan yang diterima akan berkurang. Dengan menilik kasus pegawai pabrik rokok ini, kita sudah bisa membayangkan jika ini terjadi pula kepada karyawan pabrik lainnya. Bukan hanya pabrik saja yang terkena imbasnya. Apalagi dengan adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar yang dilakukan di beberapa daerah yang berlandaskan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. Pemerintah Daerah membatasi kegiatan yang dilakukan masyarakat di tempat-tempat umum, seperti di Mall, pasar, sekolah, rumah ibadah, tempat rekreasi, dan sebagainya.

Kini, masyarakat dapat sedikit bernafas lega.  Masyarakat  yang sebelumnya harus mengisolasi dirinya dengan di rumah saja untuk memperlambat penyebaran virus, kini mereka dianjurkan untuk berdamai dan hidup berdampingan dengan virus covid-19. Bukan berarti virus covid-19 ini telah menghilang dari bumi ini. Seperti yang Pak Jokowi katakan, beliau menuliskan di laman twitternya @jokowi, karena pandemi ini belum segera berakhir dan kita tidak tau kapan itu akan terjadi. Selagi menunggu vaksin covid-19 ditemukan, kehidupan harus tetap berjalan melalui adaptasi tatanan hidup baru atau biasa kita sebut The New Normal.

Lantas bagaimana kondisi keuangan negara saat ini? Menkeu Sri Mulyani menyebutkan bahwa adanya peningkatan pada anggaran untuk menangani covid-19. Biaya penanggulangan covid-19 yang awalnya sebesar Rp 677,2 Triliun kini mencapai Rp 695,2 Triliun. Peningkatan anggaran tersebut untuk kesehatan sebesar Rp 87,5 Triliun dari sebelumnya Rp 75 Triliun. Selain itu, untuk biaya perlindungan sosial meningkat menjadi Rp 203,9 Triliun, Insentif untuk dunia usaha yang mengalami tekanan berat Rp 120,6 Triliun, UMKM Rp 123,46 Triliun serta biaya korporasi sebesar Rp 53,57 Triliun, dan biaya lain-lainnya. Fokus kepada biaya perlindungan sosial sebesar Rp 203,9 Triliun, yang merupakan anggaran paling besar dibandingkan dengan bidang lainnya. Pemerintah selama pandemi covid-19 telah memberikan sejumlah bantuan sosial kepada masyarakat yang terdiri atas menggratiskan listrik untuk pelanggan yang memakai 450VA juga memberikan diskon 50% kepada pelanggan 900VA bersubsidi, Program Keluarga Harapan (PKH) kepada 10 juta keluarga, bantuan kartu sembako kepada 20 juta penerima, Bantuan Sosial Tunai (BST), dan BLT Desa.

Meninjau dari program BST bagi warga yang terdampak covid-19 dalam pelaksanaannya nampaknya masih jauh dari kata efektif. BST merupakan bentuk bantuan dari pemerintah pusat yang diserahkan melalui Kemensos berupa uang tunai Rp 600.000,00 yang akan diberikan tiap bulan selama 3 bulan terhitung mulai bulan April. Kategori warga yang terdampak yakni masyarakat dengan penghasilan yang rendah (MBR) yang selama pandemi covid-19 pendapatannya menurun secara drastis. Lantas ketika tatanan kehidupan baru atau The New Normal telah  diberlakukan, apakah  program BST ini akan  efektif untuk terus dilakukan? Mengingat banyak BST yang salah sasaran di sejumlah wilayah. Hal ini terjadi dikarenakan terdapat kekeliruan dalam verifikasi serta validasi data penerima bantuan sosial tunai.  Masih  sering  dijumpai  data  orang  yang  sudah  meninggal  atau  orang  kaya  yang

mendapatkan bantuan. Seperti yang terjadi di Kabupaten Klaten, “Sebanyak 339 penerima BST di Kabupaten Klaten terpaksa dicoret dan dihentikan pencairan tahap berikutnya. Penerima BST yang tidak layak atau tidak tepat sasaran tersebut, diantaranya berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ada juga yang tercatat sebagai perangkat desa, kepala desa, dan sejumlah data masyarakat penerima yang tidak sesuai kriteria.” Dikutip dari (TribunJogja.com).

Kekacauan data yang diterima dari Kemensos yang merujuk kepada DTKS ini perlu untuk diperbaiki. Perlu adanya verifikasi dan validasi data yang ketat. Apalagi saat ini Indonesia tengah mengalami peralihan tatanan kehidupan baru, dimana aktivitas mulai kembali normal namun tetap memperhatikan protokol kesehatan yang ada.  Pendataan data seharusnya dilakukan real time dan perlu adanya peninjauan secara langsung oleh dinas terkait dibantu dengan pemerintah daerah khususnya pemerintah desa. Dikarenakan pemerintah desa inilah yang paling dekat dan paling mengetahui kondisi masyarakat. Proses peninjauan yang dilakukan secara langsung ini paling tidak untuk memastikan dengan benar apakah penerima bansos yang terdapat dalam DTKS tepat sasaran. Sehingga kedepannya tidak ada lagi masalah dan tumpang tindih data dalam penyaluran BST maupun program bantuan pemerintah lainnya. Agar anggaran dana yang telah dikeluarkan oleh pemerintah yang sangat fantastis tersebut dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Penulis adalah
Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo